Perang Diponegoro bukan sekadar peristiwa militer. Ini adalah kisah tentang harga diri, keyakinan spiritual, dan perjuangan panjang rakyat Jawa melawan kekuasaan kolonial Belanda. Perang ini menjadi salah satu konflik terbesar di tanah Jawa pada abad ke-19, bahkan menelan biaya terbesar dalam sejarah kolonial Hindia Belanda.
Semuanya bermula dari sebuah insiden yang bagi sebagian orang tampak sederhana: pemerintah Belanda membangun jalan yang melewati makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo, Yogyakarta. Namun bagi Diponegoro, itu adalah simbol arogansi kolonial, penghinaan terhadap adat dan kehormatan bangsawan Jawa. Ditambah dengan ketidakpuasan atas intervensi Belanda dalam urusan keraton, dan penderitaan rakyat karena pajak tinggi serta krisis ekonomi, api perlawanan pun berkobar.
Diponegoro, yang memiliki nama asli Bendara Raden Mas Mustahar, adalah putra Sultan Hamengkubuwono III. Meski tidak diangkat menjadi raja karena status ibunya bukan permaisuri utama, ia dihormati luas oleh rakyat dan para ulama. Kepribadiannya sederhana, religius, dan kuat dalam ajaran Islam. Ketika ia menyatakan jihad melawan penjajah, ribuan rakyat bergabung sebagai laskar santri, petani, hingga bangsawan kecil.
Perang pun meletus pada 1825. Dalam waktu singkat, pasukan Diponegoro menguasai sebagian besar wilayah pedalaman Jawa. Mereka menerapkan taktik gerilya, menyerang konvoi logistik Belanda, dan menghancurkan benteng-benteng kecil. Belanda kewalahan. Dalam tiga tahun pertama, mereka kehilangan ribuan serdadu dan biaya perang melonjak drastis.
Namun, kekuatan Belanda lambat laun membangun kembali kekuatannya. Mereka mengganti strategi: bukan hanya menyerang, tetapi juga membangun benteng di tiap desa untuk memutus jalur logistik dan komunikasi laskar Diponegoro. Strategi ini dikenal sebagai "Benteng Stelsel". Pelan tapi pasti, ruang gerak Diponegoro makin sempit.
Puncaknya terjadi pada 28 Maret 1830. Dalam sebuah perundingan damai yang diatur di Magelang, Diponegoro datang dengan itikad baik. Tapi di sinilah pengkhianatan itu terjadi: ia ditangkap oleh Belanda secara licik dan dibuang ke Manado, lalu akhirnya ke Makassar hingga wafat pada tahun 1855.
Meski perang berakhir dengan penangkapan sang pangeran, semangat perlawanan tidak padam. Perang Diponegoro meninggalkan jejak mendalam di hati rakyat. Ia dikenang bukan hanya sebagai pahlawan perang, tapi juga sebagai simbol keteguhan dan prinsip. Bahkan Belanda sendiri mengakui, ini adalah perang paling mahal dan paling melelahkan sepanjang sejarah mereka di tanah Jawa.
🧠 Fakta Tambahan yang Jarang Dibahas:
- Perang Diponegoro menewaskan lebih dari 200.000 orang Jawa dan sekitar 15.000 serdadu Belanda dan pribumi bayaran.
- Diponegoro menulis sendiri kisah hidupnya dalam bentuk Babad Diponegoro, salah satu manuskrip penting sejarah Indonesia.
- Hingga hari ini, lebih dari 250 benteng kecil peninggalan Belanda masih bisa ditemukan di daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta, sisa dari strategi "Benteng Stelsel".
📚 Referensi:
- Carey, Peter. Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa (1785–1855). Jakarta: KPG, 2012
- Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern. Jakarta: Serambi, 2008
- kebudayaan.kemdikbud.go.id