Pada tanggal 28 Oktober 1928, di sebuah rumah sederhana di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, sejarah Indonesia berubah selamanya. Di sanalah, sekelompok pemuda dari berbagai daerah dan latar belakang berkumpul dan menyatakan ikrar yang kelak dikenal sebagai “Sumpah Pemuda.” Tiga kalimat sederhana, tapi kekuatannya mampu menembus sekat-sekat suku, bahasa, dan ego daerah: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa—Indonesia.
Konteks saat itu sangat menarik. Awal abad ke-20 menandai munculnya kaum terpelajar bumiputra hasil pendidikan Barat. Organisasi-organisasi seperti Boedi Oetomo (1908), Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, hingga Jong Celebes, mulai bermunculan. Namun sayangnya, semangat mereka masih terpecah dalam identitas kedaerahan.
Kongres Pemuda II diadakan untuk menyatukan semangat itu. Diselenggarakan dalam tiga sesi di tiga lokasi berbeda, kongres ini tidak hanya membahas kebudayaan dan pendidikan, tetapi juga arah masa depan bangsa. Di sinilah tokoh-tokoh muda seperti Mohammad Yamin, Soegondo Djojopoespito, dan Wage Rudolf Supratman tampil sebagai pemantik semangat nasionalisme.
Puncak kongres terjadi di hari terakhir, ketika seluruh perwakilan organisasi pemuda menyepakati tiga butir ikrar yang ditulis oleh Yamin dalam bahasa Indonesia. Ini adalah pertama kalinya istilah “bahasa Indonesia” digunakan secara resmi, menggantikan “bahasa Melayu” yang sebelumnya dominan.
Pada saat yang sama, lagu “Indonesia Raya” ciptaan Wage Rudolf Supratman diperdengarkan untuk pertama kalinya dengan biola, bukan vokal, demi menghindari sensor Hindia Belanda. Suasananya penuh haru. Banyak peserta menitikkan air mata karena menyadari bahwa bangsa ini, yang sebelumnya tercerai-berai dalam ribuan pulau, kini mulai menemukan jati dirinya.
Apa yang membuat Sumpah Pemuda begitu penting bukan hanya isi ikrarnya, tapi maknanya sebagai deklarasi mental bangsa Indonesia. Sebelum ada negara bernama Indonesia secara hukum, identitas “Indonesia” sudah hidup dalam hati para pemudanya. Mereka sadar bahwa perjuangan tidak akan berhasil jika masih berjalan sendiri-sendiri. Persatuan adalah syarat mutlak kemerdekaan.
Sumpah Pemuda menjadi fondasi yang sangat kuat bagi pergerakan nasional selanjutnya. Tujuh belas tahun setelahnya, generasi muda yang sama—atau yang dibesarkan oleh semangat Sumpah Pemuda—turut melahirkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
🧠Fakta Tambahan yang Jarang Dibahas:
- Rumah tempat pembacaan Sumpah Pemuda kini menjadi Museum Sumpah Pemuda, dan sebagian besar interiornya masih dipertahankan seperti aslinya.
- Kongres ini dibiayai secara swadaya oleh organisasi pemuda sendiri, tanpa dukungan pemerintah Hindia Belanda.
- Sumpah Pemuda dibacakan tanpa mikrofon atau pengeras suara, hanya mengandalkan suara lantang para peserta.
📚 Referensi:
- Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia VI. Balai Pustaka
- Yamin, Mohammad. Naskah Sumpah Pemuda dan Sejarahnya, Balai Pustaka
- Museum Sumpah Pemuda