Notonagoro dan Filsafat Pancasila

 


Filsafat Pancasila merupakan salah satu sumbangan pemikiran terbesar dalam sejarah intelektual Indonesia. Di antara tokoh yang berperan penting dalam perumusan dan pengembangan filsafat ini adalah Prof. Dr. Notonagoro, seorang akademisi yang mengkaji Pancasila secara mendalam sehingga menjadikannya landasan filosofis dan ideologis bangsa. Artikel ini akan membahas sosok Notonagoro dan pemikirannya tentang filsafat Pancasila.


Siapa Notonagoro?

Notonagoro memiliki nama lengkap Prof. Dr. Notonagoro, S.H., M.S., seorang filsuf dan guru besar hukum di Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia dikenal sebagai tokoh yang berusaha menempatkan Pancasila bukan hanya sebagai ideologi politik, tetapi juga sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia. Pemikiran Notonagoro tentang Pancasila banyak dibukukan dan dijadikan acuan akademik, khususnya dalam bidang hukum, politik, dan filsafat negara.


Pancasila sebagai Filsafat Negara

Menurut Notonagoro, Pancasila adalah philosophische grondslag atau dasar filsafat negara Indonesia. Ia menegaskan bahwa Pancasila tidak lahir begitu saja, melainkan berakar dalam budaya, tradisi, dan nilai luhur bangsa Indonesia. Dengan kata lain, Pancasila adalah kristalisasi dari pandangan hidup masyarakat Nusantara yang kemudian diformulasikan sebagai dasar negara pada 18 Agustus 1945.

Notonagoro menekankan bahwa Pancasila memiliki kedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum, artinya seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia harus berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Dengan posisi ini, Pancasila berfungsi sebagai norma tertinggi dalam sistem hukum Indonesia.


Dimensi Filsafat Pancasila Menurut Notonagoro

Pemikiran Notonagoro tentang filsafat Pancasila mencakup tiga dimensi utama:

Pertama, dimensi ontologis, yaitu Pancasila dipandang dari hakikat manusia. Menurut Notonagoro, manusia Indonesia memiliki kodrat monopluralis, artinya memiliki unsur jasmani dan rohani, individu sekaligus sosial. Pancasila merefleksikan hakikat manusia tersebut dalam lima sila yang saling melengkapi.

Kedua, dimensi epistemologis, yaitu bagaimana pengetahuan tentang Pancasila diperoleh. Notonagoro menegaskan bahwa Pancasila berasal dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia sendiri, bukan adopsi dari luar, sehingga memiliki keaslian filosofis.

Ketiga, dimensi aksiologis, yaitu nilai guna Pancasila sebagai pedoman dalam kehidupan. Pancasila mengandung nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial yang menjadi arah pembangunan bangsa.


Relevansi Pemikiran Notonagoro di Masa Kini

Di era globalisasi dan perkembangan teknologi, pemikiran Notonagoro tentang filsafat Pancasila tetap relevan. Pancasila dapat menjadi benteng dalam menghadapi arus ideologi asing sekaligus panduan untuk menjaga persatuan bangsa.

Sebagai contoh, ketika muncul perbedaan pandangan politik atau gesekan sosial, Pancasila menjadi titik temu yang mengingatkan pentingnya persatuan. Begitu pula dalam menghadapi tantangan ekonomi global, Pancasila dengan sila keadilan sosial menekankan bahwa pembangunan harus berpihak pada rakyat.


Kesimpulan

Notonagoro adalah tokoh penting dalam pengembangan filsafat Pancasila. Pemikirannya menegaskan bahwa Pancasila bukan sekadar ideologi politik, melainkan juga filsafat hidup bangsa yang berakar pada budaya Indonesia. Dengan memahami Pancasila secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis, bangsa Indonesia memiliki pedoman yang kokoh dalam menjalani kehidupan bernegara.

Jika artikel ini bermanfaat, silakan bagikan agar semakin banyak orang memahami warisan intelektual Notonagoro dan relevansinya bagi Indonesia.

Disclaimer: Artikel ini hanya bertujuan sebagai informasi dan edukasi.

0 Comments