Menulis Puisi di Tengah Lelah: Terapi Diam-Diam yang Menyembuhkan

Di tengah rutinitas yang padat, tenggat waktu yang menekan, dan pikiran yang terasa kusut, kita sering lupa bahwa tubuh dan jiwa punya cara sendiri untuk “minta istirahat.”

Tapi, bagaimana kalau kita terlalu sibuk untuk benar-benar berhenti?

Banyak orang memilih cara sederhana namun dalam: menulis puisi.

Saat Kata Jadi Tempat Bersandar

Menulis puisi bukan soal indah atau tidaknya diksi, bukan soal puitis atau tidaknya bahasa.

Seringkali, puisi lahir dari kelelahan yang tidak sempat disuarakan.

Ia muncul dari pelan-pelan membiarkan emosi tumpah, bukan dalam bentuk teriakan, tapi baris demi baris yang jujur.

“Aku capek, tapi nggak tahu harus cerita ke siapa.”

Maka jadilah puisi.

Proses Psikologis yang Menyembuhkan

Menurut psikolog dari Universitas Indonesia, menulis ekspresif seperti puisi bisa menurunkan tingkat stres dan memperbaiki suasana hati.

Dalam beberapa studi, menulis selama 15-20 menit per hari dapat membantu individu:

Memproses pengalaman emosional

Mengurai beban pikiran

Meredakan kecemasan

Menemukan perspektif baru terhadap masalah pribadi

Puisi, karena bentuknya bebas dan personal, membuat kita lebih jujur — bahkan pada hal-hal yang tak sanggup kita akui secara lisan.

Tak Harus Hebat, Cukup Jujur

Kita sering berpikir puisi harus seperti karya Chairil Anwar atau Sapardi. Padahal, menulis puisi untuk diri sendiri tak butuh izin siapa pun.

Tak perlu rima. Tak perlu metafora rumit.

Cukup tulis apa yang kamu rasakan.

Contoh:

“Hari ini aku bangun,

Tapi tidak benar-benar hidup.

Tanganku bekerja,

Tapi hatiku diam.”

Kadang satu bait seperti itu sudah cukup membuat kita merasa didengar — walau oleh diri sendiri.

Kesimpulan

Jika kamu lelah tapi tak sempat beristirahat, cobalah menulis puisi.

Bukan untuk dibagikan, bukan untuk dikagumi, tapi untuk menyembuhkan.

Karena saat hidup terlalu bising, menulis puisi bisa jadi ruang hening yang kita butuhkan.

Referensi:

Pennebaker, J.W. (1997). Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions. New York: Guilford Press.

Rachmawati, L. (2019). “Terapi Ekspresif melalui Menulis dalam Mengelola Emosi.” Jurnal Psikologi, Universitas Indonesia.

Ariyanti, D. (2020). “Sastra dan Kesehatan Mental: Menulis sebagai Sarana Pemulihan.”

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.